Opini  

Amnesti dan abolisi: jalan keluar atau kepentingan politik?

Politik
Banner IDwebhost

OPINI – Kewenangan presiden dalam memberikan abolisi merupakan salah satu hak prerogatif yang diatur dalam konstitusi, namun dalam praktiknya, kebijakan ini kerap menjadi perdebatan sengit antara kepentingan politik dan prinsip penegakan hukum. Di satu sisi, abolisi dapat menjadi alat yang efektif untuk menyelesaikan konflik politik atau sosial yang berkepanjangan, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan banyak pihak dan membutuhkan penyelesaian di luar jalur peradilan. Misalnya, kasus Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan era Presiden Joko Widodo, yang baru-baru ini mendapatkan abolisi terhadap kasus tindak pidana korupsi yang dinyatakan terbukti bersalah pada pembacaan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Abolisi bisa menjadi jalan tengah untuk memulihkan perdamaian tanpa harus melalui proses hukum yang berlarut-larut.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), abolisi merupakan peniadaan peristiwa pidana. Menurut Mahfud MD., dalam kanal youtubenya Mahfud MD Official (Kamis, 31 Juli 2025), Abolisi merupakan penghentian proses hukum yang sedang berjalan, sedangkan amnesti adalah akibat dari sebuah pemidanaan. Keduanya dapat dilihat dalam konstitusi Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (perubahan pertama atau lihat dalam satu naskah) yang menjadi dasar hukum pengambilan kebijakan: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Sekilas, hal ini menuai gejala ketidakpercayaan publik terhadap penegak hukum di Indonesia, karena dinilai menjadi peluang intervensi kepentingan politik. Namun, di sisi lain, keputusan yang diambil tidak serta merta dari poros eksekutif, Presiden harus memperhatikan pertimbangan legislatif (DPR) dengan tujuan agar tidak sewenang-wenang menjalankan kekuasaan.

Amnesti ini ditujukan kepada Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP yang terjerat kasus suap terhadap Harun Masiku, sedangkan Abolisi ditujukan kepada Tom Trikasih ‘Tom’ Lembong yang terjerat kasus importasi gula saat ia menjabat sebagai menteri. Penggunaan abolisi jika tidak dijalankan dengan hati-hati justru dapat menggerogoti sendi-sendi penegakan hukum. Ketika abolisi diberikan kepada terpidana yang telah divonis secara sah oleh pengadilan, terutama dalam kasus korupsi atau pelanggaran HAM berat, pesan yang muncul adalah bahwa hukum bisa dibengkokkan demi kepentingan politik. Hal ini tidak hanya merusak prinsip _equality before the law_ dan asas _res judicata pro veritate habetur,_ di mana putusan hakim haruslah dianggap benar, tetapi juga membuat prinsip pemisahan kekuasaan sebagaimana digagas oleh Montesquieu menjadi abu-abu_mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.

Kalaupun tidak ada kepuasan dalam putusan pengadilan negeri, para pihak memiliki hak untuk mengajukan keberatan melalui proses hukum banding maupun kasasi. Langkah yang diambil oleh Presiden bersama Badan Legislatif ini merupakan ‘jalan baru’ diluar kekuasaan kehakiman yang justru berpotensi membuat publik akan semakin skeptis melihat bagaimana elit politik seolah kebal hukum, sementara rakyat kecil harus menanggung beban penegakan hukum yang keras dan tanpa kompromi.

Apabila pelaku kejahatan serius bisa dengan mudah dibebaskan melalui keputusan politik, apa yang akan mencegah mereka atau orang lain untuk mengulangi tindakan serupa di masa depan? Abolisi yang diberikan tanpa pertimbangan matang berpotensi menciptakan preseden buruk di mana hukum tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang adil dan konsisten, melainkan sebagai alat yang bisa dimanipulasi untuk melayani kepentingan kekuasaan.

Oleh karena itu, meskipun abolisi memiliki manfaat dalam konteks tertentu, penggunaannya harus dibatasi secara ketat. Idealnya, abolisi hanya diberikan untuk kasus-kasus yang benar-benar memerlukan penyelesaian di luar mekanisme peradilan, seperti rekonsiliasi nasional atau koreksi terhadap ketidakadilan sistemik. Selain itu, proses pemberian abolisi harus transparan dan melibatkan pengawasan dari lembaga lain, seperti DPR atau Komnas HAM, untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian, abolisi tidak akan menjadi pintu belakang bagi pelanggar hukum, tetapi tetap menjadi solusi dalam menjunjung tinggi keadilan dan kepentingan publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *