PATI – Rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250% di Kabupaten Pati – yang kemudian dibatalkan – memantik demonstrasi besar pada Rabu, 13 Agustus 2025. Pembatalan itu tidak serta merta meredakan amarah; alun-alun tetap sesak oleh warga yang menuntut akuntabilitas dan perubahan tata kelola.
Di lapangan, protes berubah menjadi sidang rakyat. Botol air mineral bertebaran, spanduk lusuh berkibar, dan suara massa menggema menembus pagar kantor bupati. LBH Semarang melaporkan 40 orang dibawa ke rumah sakit akibat bentrokan – sebuah penanda mahalnya biaya sosial dari kebijakan yang abai pada empati.
Teori yang Terabaikan: Mengapa Kebijakan Tersandung?
Dalam studi implementasi kebijakan, George C. Edwards III menegaskan empat prasyarat keberhasilan: komunikasi, sumber daya, disposisi pelaksana, dan struktur birokrasi. Pati menunjukkan kerentanan pada keempatnya: sosialisasi yang minim, saluran aspirasi yang buntu, pelaksana yang defensif, serta struktur pengambilan keputusan yang terlalu top-down.
Thomas R. Dye menyebut kebijakan publik sebagai “apa pun yang pemerintah pilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan” – yang berarti prosesnya sama pentingnya dengan substansinya. Ketika prosesnya menafikan partisipasi, hasilnya kehilangan legitimasi. Dalam Arnstein’s Ladder of Citizen Participation, pola yang terlihat cenderung tokenism: warga diundang menyimak, bukan ikut menentukan.
Arogansi Kekuasaan & Krisis Kepercayaan
Di tengah desakan mundur, Bupati Pati memilih bertahan. Keputusan itu dibaca publik sebagai simbol arogansi – upaya mempertahankan kursi dengan mengorbankan legitimasi. Pembatalan kenaikan 250% sendiri lebih dulu diumumkan, namun masih menyisakan ganjalan kepercayaan dan kepastian hukum pelaksanaannya.
Kepercayaan, kata para ilmuwan politik, adalah mata uang paling mahal dalam demokrasi lokal. Sekali tergerus, ia tak bisa dibeli kembali hanya dengan surat edaran atau konferensi pers.
Suara Tokoh, Gaung Hati Nurani
Tan Malaka: “Setinggi-tingginya ilmu, setinggi-tingginya pangkat, kalau tidak memperjuangkan rakyat, tiada gunanya.
Bung Hatta: “Demokrasi tidak hanya berarti hak memilih, tetapi juga hak rakyat untuk didengar suaranya.”
John F. Kennedy: “Leadership and learning are indispensable to each other.” Pemimpin yang menolak belajar dari rakyatnya sedang menyiapkan kegagalan.
Mahatma Gandhi: “Kekuatan yang lahir dari keadilan bertahan lebih lama daripada kekuatan yang lahir dari kekerasan.”
Sukarno: “Perjuangan kalian lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Pramoedya Ananta Toer: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi bila tidak menulis ia akan hilang dari sejarah.”
Abraham Lincoln: “Jika ingin menguji karakter seseorang, berikan dia kekuasaan.”
Kutipan-kutipan itu bukan sekadar hiasan; ia cermin untuk melihat apakah kebijakan yang lahir dari ruang rapat telah menyentuh nadi kehidupan rakyat di luar gedung.
Pelajaran dari Pati: Kompas Etika Kebijakan
1. Dialog sebelum angka: Kebijakan fiskal menyentuh dapur rumah tangga; komunikasi dan transparansi adalah prasyarat, bukan pelengkap.
2. Partisipasi bermakna: Libatkan desa, RT/RW, asosiasi pedagang, petani, mahasiswa – bukan sekadar sosialisasi satu arah.
3. Kepastian hukum: Jika dibatalkan, segera ikuti mekanisme formil (peraturan pelaksana, pengembalian selisih) agar kepercayaan pulih melalui tindakan, bukan janji.
4. Evaluasi independen: Bentuk tim evaluasi yang melibatkan kampus, ormas, dan auditor daerah untuk menilai desain pajak, dampak sosial, dan opsi alternatif penerimaan.
Saat Rakyat Menjadi Hakim
Pati mengingatkan: ketika hati publik diabaikan, jalan raya berubah menjadi ruang sidang, massa menjadi hakim, dan sejarah menjadi notulen yang tak bisa disuap. Rakyat yang kehilangan kepercayaan tidak lagi bicara dengan suara; mereka bicara dengan langkah kaki dan keteguhan mata – bahasa yang lebih keras dari pengeras suara mana pun.
Selanjutnya, pilihan ada pada para pemegang kewenangan:
memulihkan legitimasi dengan kepastian hukum, partisipasi, dan empati – atau membiarkan namanya dicoret oleh sejarah, tepat saat rakyat menutup pintu kepercayaan.***












