OPINI – Delapan puluh tahun sudah bangsa Indonesia berdiri tegak di atas kemerdekaannya. Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan hanya simbol lepasnya bangsa ini dari penjajahan politik, tetapi juga janji luhur untuk menghadirkan kedaulatan di bidang ekonomi. Para pendiri bangsa menegaskan hal itu dengan jelas. Bung Karno pernah berkata, “Politik tidak bisa tegak tanpa ekonomi yang berdikari.” Bung Hatta menambahkan, koperasi dan ekonomi kerakyatan adalah jalan untuk memastikan kemerdekaan berpihak pada rakyat. Namun, setelah delapan dekade, pertanyaan mendasar yang harus diajukan adalah: apakah kita sudah benar-benar merdeka secara ekonomi?
Dalam satu dekade terakhir, ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan rata-rata sekitar lima persen. Secara makro, angka itu menunjukkan stabilitas yang patut diapresiasi. Pada kuartal II 2025, misalnya, pertumbuhan tercatat 5,12 persen year on year, lebih tinggi dari kuartal sebelumnya. Namun, data ini segera memantik kritik. Beberapa ekonom menilai angka tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan kondisi di lapangan, ketika indeks manufaktur justru mengalami kontraksi. Hal ini menegaskan bahwa transparansi data ekonomi menjadi syarat mutlak untuk membangun kepercayaan publik. Pertumbuhan yang tidak menyentuh sektor riil hanya akan menjelma menjadi statistik semu yang menipu.
Indeks Kebebasan Ekonomi 2024 menempatkan Indonesia pada skor 64, kategori moderat, lebih baik dari rata-rata global (59) tetapi masih jauh dari ideal. Aspek trade freedom dan business freedom relatif kuat, tetapi perlindungan hak kepemilikan (property rights) serta kebebasan investasi masih tertinggal. Padahal, studi empiris menunjukkan bahwa indikator-indikator tersebut berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan jangka panjang. Dengan kata lain, tanpa perlindungan hukum yang tegas dan tata kelola yang bersih, pertumbuhan ekonomi kita hanya berdiri di atas fondasi rapuh.
Korupsi, Oligarki, dan Paradox Kemerdekaan
Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dikutip Tempo (2024), menyebutkan kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp290 triliun. Lebih dari 3,1 juta hektare lahan kelapa sawit ilegal berhasil direbut kembali oleh negara. Fakta ini menunjukkan bahwa sumber daya negara masih dikuasai kelompok tertentu dengan cara-cara melawan hukum. Pertanyaan kritisnya: bagaimana mungkin kita bicara tentang kemerdekaan ekonomi, bila kekayaan bangsa masih diperdagangkan oleh segelintir elite?
Paradoks ini semakin kentara ketika rakyat kecil—petani, nelayan, dan pelaku UMKM—masih bergulat dengan persoalan klasik: akses modal terbatas, pasar yang tidak adil, serta kebijakan yang sering berpihak pada pemodal besar. UMKM yang menyumbang lebih dari 60 persen PDB dan menyerap mayoritas tenaga kerja, kerap hanya menjadi objek narasi politik, bukan subjek pembangunan.
Padahal, konstitusi kita sudah menegaskan arah pembangunan ekonomi: Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Prinsip ini bukan sekadar teori, melainkan penegasan bahwa pembangunan harus berbasis pada kepentingan rakyat banyak.
Sayangnya, dalam praktik, semangat itu semakin terpinggirkan. Ekonomi kerakyatan yang menjadi fondasi telah lama kalah oleh logika pasar bebas dan oligarki modal. Koperasi, yang dahulu digadang-gadang Bung Hatta sebagai sokoguru ekonomi nasional, kini lebih sering hadir dalam seremoni, bukan dalam kebijakan strategis. Jika dibiarkan, arah pembangunan kita akan terus menjauh dari cita-cita pendiri bangsa.
Daya Anagata Nusantara: Peluang atau Jerat Baru?
Pemerintah meluncurkan Daya Anagata Nusantara “Danantara” senilai 20 miliar dolar AS. Secara teori, langkah ini dapat memperkuat basis ekonomi nasional, mendukung investasi strategis, dan menambah sumber pendapatan negara. Namun, tanpa tata kelola yang bersih, transparan, dan berpihak pada rakyat, dana ini bisa menjadi jerat baru. Kasus 1MDB di Malaysia adalah peringatan keras: salah urus dana publik bisa menjadi bencana nasional.
Danantara hanya akan bermakna jika diarahkan untuk memperkuat fondasi ekonomi kerakyatan: memperbesar akses permodalan bagi UMKM, memperbaiki infrastruktur pertanian dan perikanan, serta mendukung inovasi teknologi bagi generasi muda. Jika tidak, ia hanya akan menambah daftar panjang instrumen ekonomi yang dikuasai elite.
Momentum HUT RI ke-80: Menggugat Kemerdekaan Ekonomi
Momentum peringatan 80 tahun kemerdekaan ini seharusnya tidak hanya diisi dengan parade merah putih dan lomba rakyat. Ia harus menjadi titik balik untuk menggugat arah kebijakan ekonomi nasional. Kemerdekaan ekonomi sejati bukan sekadar angka PDB yang stabil, melainkan kondisi ketika rakyat benar-benar menjadi tuan di negeri sendiri.
Kemerdekaan ekonomi berarti petani tidak dipermainkan tengkulak, nelayan tidak diperas kartel impor, UMKM tidak mati oleh dominasi retail besar, dan buruh memperoleh upah layak sesuai jerih payahnya. Kemerdekaan ekonomi berarti memastikan bahwa kekayaan alam, dari hutan hingga tambang, tidak menjadi bancakan segelintir kelompok, tetapi digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Refleksi delapan dekade kemerdekaan mengajarkan kita bahwa politik tanpa ekonomi kerakyatan adalah rapuh, dan ekonomi tanpa keadilan adalah timpang. Indonesia baru bisa disebut merdeka seutuhnya ketika kemerdekaan itu dirasakan di meja makan rakyat, bukan hanya dalam pidato pejabat.
Penulis : Muhammad Holil, S.E.,M.Si (Ketua IKA Alumni Fakultas Ekonomi dan Binsis Islam IAIN Pontianak Juga Sekretaris Umum Himpunan Pengusa Muda Indonesia (HIPMI) Kota Pontianak).












