OPINI – Bagi warga Pontianak, banjir bukan lagi bencana alam ia sudah menjadi bagian dari rutinitas. Setiap kali hujan deras turun atau air pasang tiba, kota ini seolah menyerah pada genangan yang makin luas. Yang lebih menyedihkan, bukan hanya air yang tak kunjung surut, tapi juga keseriusan pemerintah kota dalam menyelesaikan akar persoalan.
Pada pertengahan Januari 2025, tinggi muka air pasang tercatat mencapai 1,8 meter, merendam kawasan padat penduduk, menenggelamkan aktivitas warga, dan melumpuhkan layanan publik. BMKG sebenarnya sudah memberikan peringatan dini. Namun, seperti tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah Kota Pontianak hanya bereaksi, bukan berstrategi.
Banjir tidak datang tiba-tiba. Ia merupakan hasil dari sistem yang dibiarkan rusak bertahun-tahun. Dan selama banjir terus diperlakukan sebagai “musibah musiman”, bukan kegagalan tata kelola, maka kota ini akan terus basah oleh air dan oleh abainya pemimpin.
Banjir Bukan Sekedar Fenomena, Tapi Gagalnya Kepemimpinan
Pontianak berada di dataran rendah dan diapit dua sungai besar, benar. Tapi tidak ada kota di dunia yang bisa memilih letaknya. Yang bisa dipilih adalah bagaimana kota itu merespons risiko yang ada. Dalam kasus Pontianak, kita melihat respons yang lamban, tidak terkoordinasi, dan sering kali hanya kosmetik.
Sistem drainase kota sudah lama tidak memadai. Saluran tersumbat sampah, sedimentasi tidak dibersihkan, dan perumahan dibangun di atas lahan basah tanpa perencanaan ekologis. Di saat yang sama, izin pembangunan terus dikeluarkan bahkan di area rawan banjir seolah-olah tidak ada pelajaran dari kejadian tahun-tahun sebelumnya.
Banjir di Pontianak bukan lagi masalah teknis. Ini sudah menjadi simbol gagalnya kepemimpinan lokal dalam mengelola ruang hidup warganya.
Riset dan Diskusi Kerap Dilakukan, Tapi 0 Besar Tindakan Nyata?
Awal tahun ini, Pemerintah Kota Pontianak menggandeng sejumlah kampus dan lembaga riset internasional untuk menyusun skenario mitigasi banjir. Tentu, ini langkah progresif. Tapi riset, sebagus apa pun, tidak akan berguna jika tidak diikuti dengan komitmen politik untuk bertindak.
Selama hasil kajian hanya berhenti di meja rapat, dan selama tindakan nyata di lapangan masih sebatas tambal sulam drainase atau pemasangan pompa darurat saat musim hujan tiba, maka tidak akan ada perubahan berarti.
Warga Dibebani, Pemerintah Diam?
Kita sering mendengar imbauan kepada warga untuk menjaga kebersihan, tidak membuang sampah sembarangan, bahkan diminta gotong royong membersihkan selokan. Tidak salah. Tapi menyalahkan warga semata adalah bentuk pengalihan tanggung jawab yang keliru.
Karena yang mengatur tata ruang bukan warga. Yang memiliki wewenang membersihkan kanal, membangun tanggul, dan mengawasi pembangunan adalah pemerintah. Ketika negara tidak hadir dalam perencanaan, maka rakyatlah yang menanggung akibatnya.
Menjemput Solusi, Menanti Keberanian Walikota
Pontianak tidak kekurangan solusi. Yang kurang adalah keberanian untuk mengambil langkah besar:
1. Moratorium izin pembangunan di kawasan rawan banjir.
2. Revitalisasi sistem drainase dan kanal secara menyeluruh.
3. Transparansi anggaran infrastruktur dan akuntabilitas proyek penanggulangan banjir.
4. Edukasi publik yang konsisten, bukan sekadar seremonial.
5. Kolaborasi lintas kota dan provinsi untuk pengelolaan wilayah sungai secara terpadu.
Saatnya Bangun dari Ketidakpedulian
Kota ini bisa diselamatkan, tapi tidak dengan narasi “musibah” semata. Pontianak butuh pemimpin yang berani mengakui kegagalan dan memperbaikinya, bukan yang terus-menerus berlindung di balik hujan dan pasang laut.
Jika Walikota Pontianak tidak segera bangkit dan bertindak, maka bukan hanya air yang akan menenggelamkan Pontianak tetapi juga kepercayaan rakyat kota Pontianak.












