OPINI, BERITABOREO.CO.ID – Menjadi anak muda selalu di kaitkan dengan optimisme, ambisius, semangat yang membara-bara. Sejarah mencetak itu dengan sangat jelas, bagaimana jauh sebelum hari ini, pemuda dari berbagai daerah mengepalkan tangan, bersuara lantang mendeklarasikan persatuan yang setelahnya melahirkan Sumpah Pemuda, bagaimana kaum pemuda mendesak Soekarno untuk cepat mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia di peristiwa rengasdengklok, bagaimana anak muda juga menjadi aktor dalam mengakhiri rezim soeharto, pergerakan-pergerakan anak muda di akui dan sejarah mencatat itu di hampir seluruh negara di dunia.
Anak muda juga terus menjadi tumpuan harapan rakyat Indonesia, menjadi simbol Ideal untuk Bangsa, kekuatan tulus untuk membela kebenaran, mensyiarkan keadilan, menjadi yang terdepan dan terdekat untuk rakyat.
Tapi melihat tren anak muda sebagian besar sekarang, banyak sekali distraksi-distraksi yang menghambat, banyak anak muda yang bergeser dari bentuk idealnya, bahkan terjadi degradasi-degradasi nilai yang masif. Apakah ini adalah kemunduran dari anak muda itu sendiri ? apakah anak muda telah mengkhianati dirinya sendiri sebagai aktor perubahan dan harapan ? apakah sudah sengal tangan pemuda untuk terus mengepalkan cita cita, Sumpah yang begitu agung dari para pemuda terdahulu sekarang hanya sekedar dongeng yang di bacakan sebelum tidur.
Antara Idealis, Pragmatis dan Melankolis
Anak muda sebagai harapan, seperti yang di katakan rumi “Pemuda adalah matahari terbit di pagi hari, mereka membawa harapan bagi dunia”. Bagaimana rumi menggambarkan anak muda sebagai matahari terbit, sungguh analogi yang mencerahkan, tapi dimana matahari terbit itu sekarang, atau bahkan anak muda itu sendiri yang mematikan sinar nya. Hari-hari ini sebagian besar anak muda terkesan skeptis dan pesimis dengan masa depannya sendiri, bagaimana mimpi-mimpinya di kubur sedalam mungkin, mereka jatuh dalam lembah melankolis, jatuh dalam kedilemaan, kesedihan, patah semangat, hidup di habiskan untuk mengembara mencari eksistensi hidup, kekecewaan demi kekecewaan.
Menurut data dari Riskedas (Riset Kesehatan Dasar) di tahun 2018 bahwa gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 sampai 24 tahun memiliki presentase sekitar 6,2 % dari jumlah penduduk Indonesia. Depresi berat juga berdampak pada menyakiti diri sendiri bahkan sampai yang terburuk yaitu bunuh diri.
Melankolis seakan-akan menjadi pagar untuk harapan dan perubahan, melankolis mejadi kasur yang nyaman untuk semua kegalauan, bagaimana quotes-qoutes dan lagu sedih yang di konsumsi lewat ponsel genggamnya, cukup untuk membangun susana pada kedramatisan dan melankolis itu sendiri. Dampaknya anak muda meninggalkan proses hidup, karena proses terlalu berat, perjuangan menjadi sukar, maka anak muda mendorongnya dirinya pada lembah ke dua yaitu kepragmatisan hidup,bagaimana hasil akhir menjadi orientasi hidup.
Dan sekarang Pragmatis dan Melankolis menjadi sahabat hidup yang dekat, cukup melunakkan daya juang, cukup membinasakan hasrat semangat hidup anak muda, apalagi bersumpah, seperti matahari terbit yang hanya menyilaukan alih-alih mencerahkan. Di tengah-tengah trend seperti itu, ada kata yang terasingkan dalam pragmatis dan melankolis yaitu idealisme, idealis yang di sebutkan kemewahan oleh tan malaka, sekarang bertranformasi menjadi hal yang sangat jauh dan mengawang-ngawang saja, tak lebih dari jejak sejarah.
Bentuk-bentuk ideal hanya sebatas di tempurung kepala, di halang-halangi oleh melankolis dan pragmatis. Ini menjadi trend dan viral yang tidak terasa, bahkan untuk anak muda sendiri.
Maka wajar jika kita menanyakan dan berdiskursus tentang eksistensi sumpah pemuda, masih relevan kah atau sukar karena di hulu lantahkan dengan distraksi-distraksi di zaman sekarang?
Hei Pemuda manakah Sumpah Mu!!!!!
Sekarang kita bertanya manakah sumpah itu, seakan-akan makin lama menjelma redup, makin sunyi, semakin tenang, sekarang cocok sebagai instrumen pengantar tidur yang menyenyakkan. Sudah 96 tahun kita memperingati Sumpah Pemuda yang membosankan jika hanya memperingati tanpa peringatan bahwa sumpah ini sudah berdebu, tanpa peringatan bahwa sumpah ini makin lekang oleh waktu, tanpa refleksi dan dekonstruksi sumpah ini hanya seremoni yang kehilangan makna.
Lalu setelah semua degradasi ini, Padamkah api sumpah pemuda?, padamkah api pengharapan itu ? setiap pemikiran akan selalu ada lawan pemikiran itu sendiri, apa yang di katakan Tan malaka tentang kodrat negatif akan terus bertarik-tarikan dengan kodrat positif, tesis akan selalu di ikuti dengan anti tesis, bahwa melankolis dan pragmatis akan selalu di lawan dengan idealis, bahwa genggaman yang terlepas akan di lawan dengan kepalan-kepalan sumpah pemuda yang membara terbakar di seluruh jari jemarinya artinya perlawan dan penentangan itu akan selalu ada, anak-anak muda yang terus menggigihkan sumpahnya akan terus ada meski dalam skala kecil, bahwa api yang besar berawal dari percikan yang kecil, apa yang terjadi sekarang bukan penghakiman untuk masa depan, kita masih punya harapan bahkan di tengah-tengah kemustahilan.
Mari Berpikir Ulang tentang Sumpah Pemuda
Mari hari ini kita kembali kepada sumpah itu, kembali kepada bahasa persatuan itu, setelah semua perbedaan saling beririsan, berbentrokkan, dan semua keberagam kita sebagai individu maupun kelompok, bahwa kita harus ingat bukan persatuan yang menghilangkan perbedaan, tapi karena ada perbedaan lah harus lahirnya persatuan. Muhammad Yamin telah merumuskan isi Sumpah Pemuda dengan sangat luar biasa,tetapi untuk sampai pada luar biasa, tentu Sumpah Pemuda harus lekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Bangsa ini memang mempunyai banyak dosa terhadap pei perlu di ingat, bahwa bangsa ini juga dapat berdiri tegak, tanpa membungkuk kepada siapapun juga karena andil besar dari pemuda, dan jika pada akhirnya kita terlalu kaku dalam memaknai sejarah setidaknya bertindaklah untuk mencari makna, kata Albert Camus dalam bukunya Krisis Kebebasan.
Untuk 96 tahun Sumpah Pemuda, saya tidak akan memakai narasi memperingati yang sudah buluk itu, tapi mari kita mengglorifikasi untuk menanyakan kembali masih relevankah Sumpah Pemuda ? jika Relevan mari mengaitkan itu dengan Pemuda Zaman sekarang. Maka dari itu selamat berpikir ulang tentang kepalan tangan Sumpah Pemuda.
Komentar